Minggu, 30 September 2012

Destinasi Ambarawa & Semarang (4-habis) : Berjalan Kaki (Kembali) Di Seputar Semarang

Sesuai dengan prediksi kami di awal, kami tiba di Semarang dalam waktu 30 menit. Kami turun di flyover Jl. Raya Kaligawe, di dekat lokasi Jamu Nyonya Meneer. Destinasi pertama kami adalah Masjid Agung Jawa Tengah yang terletak di sekitar kawasan Gajah. Kenapa disebut gajah??Karena selain jalan di area tersebut dinamai nama-nama binatang salah satunya gajah, berbagai toko di kawasan tersebut menambahkan kata gajah di belakang nama toko mereka, misal Warung Nasi Gajah, Toserba Gajah, dan sebagainya. Unik. Dri tempat kami turun dari bus antarkota, kami melanjutkan perjalanan dengan minibus, mirip kopaja di Jakarta. Tarif yang dipatok Rp 4.000,- saja. Sempat di-palakin pengamen(pengemis lebih tepatnya) juga yang memaksakan receh dengan membentak-bentak dan mendorong kantong uangnya ke badan kami berdua. Setelah diberi pun masih ngeyel minta rokok padahal kami tidak merokok. Akhirnya setelah 10 menit “kopaja” berjalan, kami tiba di depan pintu masuk Masjid Agung Jawa Tengah. Subhanallah. Masjid yang sangat besar dan megah. 

Di sepanjang pintu masuk akan ditemui 5 plakat di atas kolam yang berisi masing-masing lima rukun Islam. Dilanjutkan dengan gapura bergaya Arab dengan air mancur di tengahnya.  Beberapa komponen dari masjid ini menjadi landmark bagi Jawa Tengah khususnya Semarang. Enam payung raksasa yang dapat terbuka secara otomatis menjadi hal yang paling unik  dari masjid ini. Seperti payung raksasa yang digunakan di Masjid Nabawi di Mekkah. 

Di sisi lain, terdapat menara setinggi 19 lantai yang berfungsi juga sebagi museum sejarah Islam, resto putar, dan menara pandang. Di kanan kiri masjid terdapat dua gedung yang fungsinya seperti kantor dengan arsitektur yang senada. Kami segera beranjak menuju ke dalam masjid untuk sholat dan melepas penat sejenak. Udara yang cukup panas membuat kami berjingkat ketika memasuki area suci dalam masjid yang jaraknya masih sekitar 20 meter dari bangunan utama,hehe. Di dalam masjid cukup lengang karena saat itu memang belum masuk waktu sholat. Hanya ada beberapa pengunjung lokal berbincang –bincang santai di sekitar teras masjid. Masuk kedalam, interior masjid terasa klasik dengan sentuhan budaya Jawa. Strutur atap sebagian menggunakan kayu dipadu dengan beton dengan beberapa hiasan di area dinding. Di bagian basement, ada temat wudhu ang dilengkapi dengan kamar mandi. Ada juga tempat sholat di sini sebagai perluasan aula utama masjid namun terkesan gelap karena letaknya dibawah dengan sedikit pencahayaan. Di bagian depan pintu masuk, terdapat Al-Quran raksasa yang berukuran kurang lebih satu setengah meter lengkap dengan meja Al-Qur’an raksasa juga.Puas berkeliling, karena terasa lelah, saya dan kang Ari sempat terlelap sejenak sembari menunggu masuk waktu sholat Ashar. Kami dibangunkan oleh suara adzan sholat Ashar dan segera mengambil air wudhu. Setelah sholat, kami menyempatkan diri untuk mandi sejenak di kamar mandi masjid. Kami menyempatkan diri mencoba naik ke menara pandang. Dengan tiket seharga Rp 5.000,-, kita dapat menyaksikan kota Semarang dari ketinggian. Jika ingin lebih jelas, rogoh kocek sebesar Rp 2.000,- untuk menyewa teropong. 

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Simpang Lima Semarang. Sebenarnya ada beberapa lokasi yang terlewat, seperti Pagoda Alokitsevara(begitukaah ejaannya??hehe...) namun waktu tidak mengijinkan sehingga lebih baik kami lewatkan saja. Dengan berjalan kaki, perjalanan sejauh 6 km ke Simpang Lima kami mulai. Rute yang kami lalui adalah Jalan Gajah-Jalan Majapahit-Jalan Ahmad Yani-Simpang Lima. Walaupun di GPS terasa dekat, tapi in fact tetap saja jauh seperti lari marathon apalagi dengan stamina yang tinggal separuh,hehehe.Tapi semangat kami masih penuh, jadi perjalanan harus tetap berlanjut. Jika anda ingin nyaman dan cepat sampai, ada alternatif lain yaitu menaiki bus Rapin Trans arah Simpang Lima. Bus ini seperti bus Trans-Jogja yang ada di daerah Jogja. Dengan tarif sekitar Rp 3.500,-, bisa berkeliling Kota Semarang. Akhirnya sekitar 2 jam perjalanan, kami sampai di Simpang Lima. 

Simpang Lima Semarang adalah kawasan alun-alun di tengah jalan bersimpang lima menuju Purwodadi serta Solo. Di beberapa sudut, terdapat deretan pedagang kaki lima yang menjual berbagai aksesoris dan nasi kucing dipadukan dengan  gemerlap lampu dari beberapa department store. Di area utama alun alun, banyak pengunjung yang berkumpul untuk sekedar ngobrol, makan, bermain roller blade, skuter, dan sebagainya. Suasana cukup ramai dan bemandikan lampu sehingga kesan gelap dan kumuh yang biasanya melekat pada alun-alun dapat terhindarkan. Sembari mengisi perut dengan dua bungkus nasi kucing, saya mengabadikan momen-momen tersebut. Yup, stamina telah terisi kembali. Perjalanan dilanjutkan menuju kawasan Lawang Sewu. Sekitar 3 km ke arah barat dari Simpang Lima. Dari sini kaki saya sudah mulai cenat-cenut karena sejak dari Solo kemarin kami memang ramah lingkungan (dan dompet) sekali dengan banyak berjalan, hehehe. Ah, tapi saya tahan saja karena semangat masih oke. Kami melewati Jalan Pandanaran, salah satu sentra oleh-oleh khas Semarang. Disini dapat ditemui berbagi macam makanan ikonik Semarang yaitu lumpia, wingko babat, bandeng presto, dan sebagainya. Setelah survey beberapa tempat, pilihan kami jatuh pada toko Bandeng Juwana karena dari depan terlihat paling ramai diantara yang lain. Segera kami memilih beberapa panganan untuk dibawa pulang. Saya sendiri memilih Tahu Serasi Bandungan, yang sebenarnya adalah makanan khas Ambarawa karena sudah cukup sering menerima oleh-oleh bandeng presto dan wingko babat dari beberapa kerabat. Selain itu, saya juga mengambil sekotak kue muaci/mochi Semarang. Kang Ari sendiri lebih memilih sekotak wingko babat dan sekotak Bakpia Pathok 25 yang sudah familiar di mata para pmburu oleh-oleh. Total harga keempat oleh-oleh tadi adalah Rp 119.000,-. 
 Kaki-kaki lelah kami segera berjalan kembali. Tidak jauh dari situ, terdapat Lawang Sewu. 
Kantor Pusat PT.KAI di masa kolonialisme. Bangunan tua yang arsitekturnya tetap terjaga khas Belanda. Memilikipilar-pilar besar yang beriringan dengan pintu-pintu yang jumlahnya konon ratusan. Aura Lawang Sewu yang mistis bercampur dengan megah membuat tempat itu ramai dikunjungi walaupun jam telah menunjukkan pukul 21.00. Rasa lelah mendera kami membuat taman kota di area Tugu Muda di depan Lawang Sewu menjadi tempat persinggahan selanjutnya. Tak berselang lama, kami memutuskan untuk segera menuju ke Stasiun Semarang Poncol agar kami bisa beristirahat lebih leluasa sembari menunggu datangnya kereta Kahuripan yang akan mengantar kami pulang beberapa jam lagi. Setelah deal dengan bapak tukang becak pada harga Rp 15.000,-, kami segera mengakhiri perjalanan menuju stasiun tersebut.  Semarang memang kota yang unik dengan arsitekturnya yang klasik bercampur modern dan masih terjaga dengan baik. Udaranya yang panas baik pada siang maupun malam hari tidak akan menghalangi niat kami untuk kembali ke sana pada lain waktu. Masih banyak lokasi yang layak untuk disinggahi. Maybe next time (again)!!!=)