Bus yang kami tumpangi perlahan melahap rute
Solo-Ambarawa yang beraspal mulus dan sedikit berkelok dalam 3 kilometer
terakhir sebelum terminal Bawen,
suatu daerah di dekat Ambarawa. Sekitar pukul 06.30, kami pun sampai di Terminal
Bawen.
Karena perut terasa keroncongan, kami memutuskan untuk makan pagi di
sekitar terminal. Semangkuk nasi campur telur dan koyor (kikil kata orang Jawa Timur) seharga Rp 7.000,- menjadi
teman makan kami pagi itu. Tak lupa secangkir kopi panas sebagai penambah
semangat. Udara Ambarawa pagi itu terasa sejuk dan sedikit berangin, khas musim
kemarau. Sangat pas untuk berjalan kaki menuju tujuan kami sesuai rencana awal.
Sempat ada dialog dari kang Ari dengan seorang penjaga terminal tentang rute dan kendaraan umum untuk menuju Museum Kereta Api Ambarawa. Bapak penjaga tersebut mengatakan banyak
angkot yang menuju ke sana yang bisa dicarter seharga Rp 30.000,- namun angkot
tersebut tidak bisa berhenti tepat di depan museum dan kita tetap perlu
berjalan untuk sampai di tujuan. Akhirnya kami tetap memilih untuk berjalan
saja. Jarak yang ditempuh (menurut GPS) sekitar 6 km. Kami pun segera bergegas
menuju destinasi kami. Untuk pejalan kaki, sebenarnya medan yang dilalui tidak
terlalu mulus. Trotoar yang ada seringkali putus berganti dengan jalan kerikil.
Namun hal itu tak menyurutkan semangat kami. Rute yang kami ambil melalui rute
normal melewati pasar hewan dan pasar tradisional Ambarawa. Ada juga rute baru melewati Jalur
Lingkar menuju Yogyakarta yang masih berusia muda alias baru saja dibuka. Perbedaannya adalah jika kita melewati rute normal, masih banyak
”kehidupan”(rumah penduduk, toko, dan sebagainya) sedangkan jika melewati rute baru semua hal tersebut
tidak ada namun sebagai gantinya kita bisa mengintip keindahan Danau Rawapening yang legendaries. Selang
satu jam lebih kami berjalan, kami sampai di kota Ambarawa. Ketika melihat
papan penunjuk jalan yang menginformasikan Museum Ambarawa ke sebelah kiri,
kami segera mempercepat langkah kami. Monumen Palagan Ambarawa yang terletak di
depan pertigaan jalan masuk menuju museum tidak luput dari bidikan kamera kami.Sekedar potret saja, jika masuk bayar Rp 4.000,-. Kami tidak memutuskan untuk
masuk karena memang cuaca telah cukup terik dan lebih baik segera menuju ke
museum. Sekitar 1,5 km kami berjalan sampailah kami di monumen lokomotif uap
tua pada pintu masuk menuju museum. Tapi ada spanduk berisi himbauan yang
sangat mengecewakan
saya,”MOHON MAAF – SEMENTARA UNTUK WISATA DITUTUP – LOKASI MASIH DALAM
PEMUGARAN”
Sial. Itu kata yang memenuhi hati kami berdua. Padahal ketika saya
cek beberapa minggu sebelumnya pemugaran direncanakan selesai pada saaat
memasuki bulan Ramadhan. Tapi apa hendak dikata. Untung saja wilayah museum
masih bisa dimasuki pengunjung sehingga ada sedikit obat untuk kekecewaaan kami. Pelataran
museum diisi berbagai tipe lokomotif yang telah dipensiunkan diantaranya adalah
lokomotif uap tipe BB1012, B5210, B2014, B2220, dan sebagainya. Dari luar, lokomotif-lokomotif
yang berusia kurang lebih satu abad tersebut masih tampak gagah layaknya ketika
masih beroperasi dulu. Namun sayang, dari dalam banyak karat dan lubang-lubang
yang disebabkan oleh faktor usia lokomotif tersebut. Overall, mayoritas lokomotif tersebut masih terawat dengan baik
menurut saya. Langkah kaki kami dilanjutkan menuju ke dalam Stasiun Ambarawa.
Dari depan, stasiun ini tampak seperti stasiun-stasiun lain di Indonesia yang
senantiasa menjaga sisi arsitektur zaman penjajahan dulu. Interior stasiun ini
masih terjaga dan utuh seperti sediakala. Selain itu, tempat ini sangatlah
bersih (bersih juga dari pengunjung,hehehe....).
Di rel utama museum ini terdapat lori wisata
yang teronggok
begitu saja. Lori tersebut tampaknya dalam keadaan rusak namun sedang menunggu
giliran untuk masuk dipo perbaikan karena dipo perbaikan sedang penuh untuk memperbaiki kereta uap bertenaga kayu bakar dan beberapa gerbongnya.
Di beberapa sisi
terlihat beberapa pekerja sedang merenovasi beberapa bagian stasiun. Walaupun
sedikit kecewa karena renovasi tersebut membuat stasiun ditutup sementara,
setidaknya kami masih bisa berharap agar renovasi tersebut berjalan sesuai
rencana dan menambah daya tarik museum kereta api tersebut. Di sisi dalam
stasiun terdapat beberapa peralatan stasiun klasik seperti mesin pencetak tiket
Edmonson yang baru pensiun sekitar 3 tahun lalu.
Lalu ada juga roda bergerigi
yang lazim digunakan di area rel tanjakan di masa lalu. Sebenarnya, ada beberapa
benda lain yang terdapat di bagian bangunan utama museum ini, namun kami urung
melihatnya karena pintu ke showroom museum
ditutup. Kami segera menuju ke spot lain
area Stasiun Kereta Api Ambarawa. Di dekat dipo pemugaran, terdapat rel putar
yang dulunya lazim digunakan untuk menyesuaikan arah lokomotif. Rel ini diputar secara manual oleh
beberapa orang dengan bantuan tuas kayu. Jika dibayangkan, petugas-petugas
pemutar rel tersebut tentunya adalah orang-orang yang sangat kuat mengingat
berat satu loko bisa mencapai beberapa puluh ton.
Dari kejauhan, tampak
beberapa gerbong yang sedang dipugar seperti yang kami bicarakan di awal.
Tampaknya akan ada penambahan gerbong baru di rangkaian kereta klasik tersebut.
Di dua rel lain, terdapat dua lokomotif yang sedang diperbaiki. Wajarlah dengan usianya yang uzur, perawatan
lokomotif-lokomotif tersebut memang harus lebih sering dari biasanya agar
kondisinya tetap layak jalan. Semoga
cepat selesai. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar