Senin, 26 Maret 2012

Mencicipi Sajian Ketela Ungu Khas Repoeblik Telo


Suasana di dalam market Repoeblik Telo
Ya, memang semua menu di sini mayoritas berbahan dasar ketela ungu alias telo. Fresh from the oven menurut saya jika melihat ide ini. Segala menu tersebut dapat anda temui di Market Repoeblik Telo, jalan raya Malang-Surabaya setelah flyover daerah Lawang, sebelah kiri jalan jika anda dari Malang.
Suasana parkir market Repoeblik
Kenapa saya sebut market, karena memang tidak mirip gerai, toko, atau minimarket walaupun mengadopsi sistem swalayan dalam proses transaksinya. Tempat parkir yang disediakan cukup luas. Kebanyakan wisatawan tujuan Surabaya atau Bali sering mampir ke sini untuk transit jadi jangan heran jika banyak bis-bis besar memenuhi tempat parkir. Terdapat spot-spot untuk pengunjung beristirahat, menikmati menu yang ada, beribadah, atau sekedar ber-hotspot ria. 
Beralih ke menu, menu yang paling terkenal di sini adalah Bakpao Telo. Dilihat dari namanya, bakpao ini memang berbahan dasar ketela. Tidak seperti kebanyakan bakpao yang ada, bakpao ini pada dasarnya berwarna ungu namun ada juga warna lain sesuai dengan isiannya. Tekstur bakpao ini tidak kenyal dan “berair”. Bakpao ini cukup padat, hampir mendekati tekstur roti namun masih ada sifat “berair”-nya. Menurut saya, bakpao ini lebih mengenyangkan daripada bakpao biasa. Warna dan tekstur seperti itu membuat bakpao ini memberikan rasa dan penampilan yang lebih menggoda. Isian bakpao ini beraneka macam ada kacang hijau, kacang merah, coklat, strawberry,daging ayam dan rasa lain. Cukup bervariasi, namun tetap pas dengan rasa dasar bakpaonya.Per item bakpao ini dijual seharga Rp 3000,-/buah (update 23 Maret 2012). Cukup terjangkau dan rasanya memang memberikan sensasi yang berbeda. Selain bakpao telo, kita juga dapat menemukan berbagai olahan berbahan dasar ketela lain, seperti bakpia, mie, nugget, pizza, brownies, cookies, atau bahkan es krim. Saya juga menyempatkan membeli bakpia telo karena penasaran dengan rasanya.
 Secara testur bakpia ini mirip bakpia pathok Jogja yang sudah akrab di telinga kita. Isiannya juga standar yaitu, keju, coklat, kacang hijau. Harga sekothak bakpia ini Rp 15.000,00 dengan isi 9 bakpia. Keistimewan bakpia ini terletak pada warna isiannya yang didominasi oleh warna ungu dari ketela ungu. Menarik. Walaupun anda mencicipi rasa keju misalnya, akan tetap terasa citarasa ketela ungu yang pas bercampur dengan kejunya. Nikmat adalah kata yang tepat menggambarkannya. Tampaknya bakpia pathok Jogja akan segera mendapatkan rival yang berat setelah sekian lama mendominasi dunia bakpia,hahaha. Selain sajian olahan dari ketela ungu, market ini juga menjual berbagai makanan produk home industry seperti opak gambir, wajik, keripik buah, bumbu masakan instan non-pengawet, asinan, dan sebagainya. Tak heran pengunjung market ini selalu ramai. Anada juga dapat membeli beberapa merchandise Repoeblik Telo di salah satu sudut market  Tak ada salahnya menjadikan market ini sebagai salah satu tujuan destinasi kuiner anda. Dengan manfaatnya yang begitu besar terhadap kesehatan manusia, ternyata ketela ungu bisa diolah menjadi berbagai macam hal.

Kamis, 15 Maret 2012

Sekelumit Keindahan Kawah Gunung Bromo


Jeep meluncur meninggalkan puncak Penanjakan dimana kami melihat sunrise. Sepanjang perjalanan terhampar pohon-pohon dan perkebunan suku Tengger. Cuaca yang semula cukup dingin beranjak hangat pagi ini. Saya sempat bertanya seberapa jauh jarak menuju Savannah dan Bukit Telletubbies yang cukup terkenal tersebut. Pak Sahudi menjawab sekitar 15 menit sampai tapi dengan biaya tambahan tentunya. Kami hanya mnggeleng kepala saja mendengarnya,hehehe. Di tengah perjalanan kami, Pak Sahudi sempat berhenti untuk menawarkan tumpangan kepada seorang wisatawan asing. Kata beliau, dia menumpang jeep-nya semalam. “Remember me?I picked you last night”,kata pak Sahudi memastikan. Tapi si bule tadi menggeleng saja. Kami pun cuek dan segera berlalu saja. Tak berapa lama, jeep berhenti di lautan pasir  yang mengelilingi gunung Bromo dan gunung Bathok. Jeep kami parkir sejajar dengan jeep-jeep yang telah sampai lebih dahulu.
Jeep-jeep parkir
Sudut lain lautan pasir Gunung Bromo

Warung-warung makan atau mau sekedar ngopi juga bisa =)
Di sekitar tempat transit jeep, banyak terdapat tenda-tenda makan, beberapa penjual bakso keliling, dan jasa naik kuda tentunya. 
Sejenak menyempatkan diri minum teh hangat di salah satu warung sambil beristirahat.  Di depan parkir jeep terdapat pura Hindu yang cukup megah namun ditutup saat itu. Mungkin hanya dibuka ketika peringatan-peringatan adat saja. Bromo identik dengan wisata berkudanya, jadi ada kuda dimana-mana, dan tentu saja kotoran kuda dimana-mana,hehehehe. Anda sebaiknya waspada jika menggunakan sandal, saya sendiri prefer menggunakan sepatu sejak menginjakkan kaki ke Bromo,hehehehe. 
Jalan aja deh...

Naik kuda juga bisa
Jika anda memilih berjalan seperti saya dan 4 kompatriot saya, waktu yang dibutuhkansekitar 20 menit. Jika anda memilih berkuda, sekitar 10 menit saja anda akan sampai dengan biaya sekitar Rp 15.000,00. Namun kuda akan berhenti sebelum anak tangga menuju puncak Gunung Bromo, selanjutnya mau tidak mau anda harus menaiki sekitar 250 anak tangga, berkuda atau tidak,hehehe. 
Nah, ini dia trek ke puncak Gunung Bromo. Tampak pura dari kejauhan.

Tangganya sempit
Singkat cerita, kami telah sampai di anak tangga terakhir sebelum puncak Gunung Bromo perasaan saya sedikit miris ketika melihat keadaan tempat pijakan kaki di sekeliling puncak. Lebarnya hanya sekitar 50-100 cm saja dan sangat curam. 
Pagar pembatasnya memprihatinkan...
Pagar pembatas yang biasanya membatasi jarak aman pengunjung menikmati kawah hanya tersisa sebagian,itu pun dengan kondisi yang memprihatinkan. Memang letusan Bromo mengakibatkan tertutupnya jalur pendakian di sekeliling Bromo. 
Wisatawan tetap penuh
Namun hal itu tidak menyurutkan niat para wisatawan untuk mendakinya. Daya tarik utama Gunung Bromo adalah kawahnya. Pada bulan tertentu digelar upacara Kasadha di tempat ini sebagai upacara adat untuk menghormati leluhur suku Tengger. 
Kawah Bromo pasca erupsi
Kawah Bromo pasca-erupsi terlihat cukup curam dan air kawahnya berwarna kehijauan. Cukup indah. Sekitar 15 menit kemudian, kami  memutuskan untuk segera turun karena harus segera kembali ke Malang sebelum terlalu sore dan sempat mengambil gambar,hehehe.
Oke..

Bunga edelweiss di tangan mereka
 Para penjaja bunga edelweiss di sekililing jalur pendakian mengahampiri kami dan menawarkan dagangannya. Harganya berkisar Rp 10.000,- untuk setiap ikatnya. Sigit & Zakaria pun tak ragu-ragu membelinya. Saya sendiri prefertidak membeli karena memang bunga tersebut termasuk salah satu kategori spesies bunga yang dilindungi jadi sayang sekali jika bunga tersebut hanya berakhir layu di kamar kost saya,hehehehe. Tepat sekitar pukul 09.30 WIB, kami telah sampai di desa Cemorolawang kembali. Setelah sempat mengisi perut, kami kembali ke rutinitas lama yaitu menanti angkot “ngetem”,hehehe. Kata mas sopir, nungguin bule-bule turun dari puncak.Hadeh  - -“. Sekitar satu jam kemudian angkot kami meluncur meninggalkan Desa Cemoro Lawang. Tidur adalah pilihan kami saat itu karena stamina sudah terkuras sejak mendaki di Penanjakan tadi. Next time, mungkin saya akan kesana lagi. See you Bromo!!!=).
Great destinations,see you!!!

Kamis, 08 Maret 2012

05:07 Sunrise Puncak Penanjakan


Pukul 03.45 WIB, saya dan Freddy terbangun dari tidur kami. Terdengar raungan suara mesin-mesin jeep yang mulai berdatangan di sekitar gazebo tempat kami beristirahat. Selain itu mulai ramai terdengar suara rombongan wisatawan yang hiking menuju puncak Bromo untuk menikmati sunrise dari sana. Cuaca saat itu masih dingin disertai angin gunung yang berhembus cukup kencang. Hujan rintik-rintik yang turun sudah mulai mereda namun suhu masih tetap menunjukkan angka 14° C. Segera saya mencari perapian di sekitar penjaja bakso yang ternyata sudah stand-by sejak pukul 01.00 WIB untuk menghangatkan diri. Tak lama setelah itu, penjaja makanan lain juga segera menyiapkan dagangannya. Suasana jadi semakin ramai karena jeep-jeep terus berdatangan. Freddy segera mencari jeep pesanan kami dan saya segera membangunkan “makhluk-makhluk” yang sedang tidur pulas agar segera mengemasi barangnya. Jeep kami atas nama Pak Sahudi. Setelah dicari-cari ternyata jeep beliau tepat berada di depan gazebo kami,ah, kasihan si Freddy mencari kesana-kemari,hehehe. Tepat pukul 04.00 WIB kami berangkat menuju Puncak Penanjakan, spot terbaik untuk menangkap terbitnya matahari di tengah siluet kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Karena waktu masih subuh, jalanan yang kami lalui gelap, ditambah lagi kabut tebal masih menyelimuti. Di kanan-kiri jalan, saya menjumpai banyak wisatawan ber-hiking dan berkuda. Memang jarak tempat transit jeep (gazebo tempat kami menginap, Hotel Bromo Permai I) ke Puncak Penanjakan tidak terlalu jauh sekitar 7 km. Namun medannya cukup sulit jika perlengkapan hiking seperti senter, sepatu, dan sebagainya tidak masuk list ransel seperti ransel kami,hehehe. Jadi lebih baik carter jeep saja. Tak banyak yang dilakukan di dalam jeep yang berkapasitas hingga 6 orang tersebut selain menghangatkan diri dan ngobrol dengan pak Sahudi. Tak sampai lima belas menit, jeep sampai di rute pendakian Puncak Penanjakan. Selanjutnya, perjalanan akan dilakukan dengan berjalan kaki atau dengan menunggang kuda seharga Rp 75.000,- s/d Rp 100.000,-. Keadaan masih gelap saat itu.
Gelap gulita di rute Pendakian Puncak Penanjakan
 Kami pun mendaki dengan bantuan senter beberapa wisatawan Tiongkok di depan kami,hehehehe. Lumayan daripada membeli senter di sekitar rute pendakian dengan harga yang lebih mahal dari pada aslinya. Kontur jalan sepanjang rute pendakian ini tidak menentu. Kadang aspal, kadang beton, kadang lumpur, dan kadng juga kerikil. Cukup sulit melintasinya. Selain itu, rute wisatawan yang menggunakan kuda untuk mendaki juga di rute pejalan kaki ini, jadi kita harus selalu waspada akan kuda yang lewat dan tak jarang terpeleset di dekat kita,hehehe. Ada dua pos pemberhentian sepanjang rute pendakian ini. Di pos-pos tersebut terdapat warung-warung yang menjual makanan, minuman, dan beberapa perlengkapan mendaki. Lumayanlah untuk mengambil napas sejenak di tengah-tengah kadar oksigen pegunungan yang tipis. Sekitar 30 menit mendaki, finally sampai juga di pos terakhir yaitu Puncak Penanjakan. Cukup ramai saat itu. Kami segera mengambil spot terbaik untuk menikmati keindahan sunrise yang telah kami tunggu-tunggu. Dari kejauhan, tampak kabut masih menyelimuti lautan pasir di sekitar Gunung Bromo. 
Kabut tebal
Di ujung lautan pasir itu terlihat desa Cemorolawang, tempat kami transit dikelilingi barisan bukit-bukit yang tampak seperti benteng.
Cemorolawang dari Penanjakan

 Jeep-jeep terlihat seperti kunang-kunang yang berlomba terbang menuju sarangnya. Perlahan sinar matahari mulai tampak namun awan tebal masih belum mau pergi. 05:07. Sinar matahari terlihat menembus awan tebal tersebut namun tidak banyak membantu kemunculan matahari yang sebenarnya. Wah, sepertinya sunrise kali ini kurang sempurna. Sedikit kekecewaan di hati saya terobati ketika perlahan kabut tebal menghilang dari lautan pasir Bromo. Siluet Gunung Semeru, Gunung Bromo, dan Gunung Bathok telihat mengagumkan.
Great view!!!!
 Subhanallah. Kilatan blitz kamera tidak menunggu aba-aba untuk berlomba menangkap momen tersebut tak terkecuali bagi kami,hehehe. Tidak salah jika Puncak Penanjakan disebut sebagai spot terbaik menikmati sunrise di wilayah Bromo. Benar-benar salah satu lukisan karya Allah yang paling indah. 
Narsis dikitlah...

Ada juga bule kedinginan =)
Kondisi jalan di mayoritas rute pendakian Puncak Penanjakan
Selagi teman-teman mengambil gambar, saya menyempatkan diri menikmati pisang goreng karena perut saya sudah mulai lapar,hehehe. Bunyi klakson jeep mulai terdengar dari bawah. Tandanya kami harus segera turun karena memang waktu menunjukkan 06.10 WIB. Sepanang perjalanan,kam baru sadar ternyata tidak ada lumpur di sepanjang rute pendakian, yang ada hanyalah tanah becek dipadu dengan kotoran kuda (baca : dimana-mana). 
Wah. Kami pun berlalu dengan cuek saja karena saya sendiri yakin kuda-kuda tersebut tidak akan galau karena kotorannya kami injak-injak,hehehe. Di sekitar parkir jeep, Sigit dan Yos menyempatkan diri membeli beberapa kaos bertema Bromo sebagai oleh-oleh. Saya sendiri memilih untuk menunggu di sekitar jeep. Tak lama, jeep kembali meluncur melintasi rute menuju lautan pasir Gunung Bromo untuk tujuan terakhir kami : Kawah Bromo.=)