Jumat, 18 Oktober 2013

Menemukan Penjual Es Goyang Di Masjid Agung Kota Malang

Tanggal 6 September kemarin saya berkunjung kembali ke Malang untuk urusan pekerjaan. Kota dimana saya singgah selama 3 tahun untuk menyelesaikan studi D-3 ini tak banyak berubah. Hanya jalan saja yang semakin hari, semakin macet. Hari itu kebetulan hari jum’at dan saya memilih untuk melaksanakan sholat jum’at di Masjid Agung Kota Malang yang letaknya (seperti mayoritas kota-kota di Indonesia) di samping alun-alun kota. Sholat Jumat berlangsung khidmat dengan khotbah bertemakan mencari rejeki yang halal untuk anak-anak kita. Selepas sholat jumat, saya berencana untuk beristirahat sejenak disitu sambil menikmati suasana alun-alun kota Malang yang terlihat ramai dari kejauhan. Ditambah lagi ada beberapa rombongan yang nampaknya sedang melakukan tour ziarah wali dan mahasiswa-mahasiswa yang sedang study tour juga singgah di tempat itu. Merasa haus, saya segera beranjak mencari minuman dingin untuk mengatasi dahaga saya. Sejauh mata memandang, saya menemukan seorang bapak penjual minuman (tadinya saya kira begitu) ramai dikerubuti orang. Begitu saya dekati ternyata beliau menjual es goyang bukan minuman dingin. 



 Es yang menurut sejarah berasal dari Betawi ini ternyata belum “punah”. Jika di Malang, biasanya saya menemukan es-es jenis ini hanya ketika even Malang Tempo Doeloe (MTD) bersama es gandul,gulali, dan sebagainya. Musiman, jadi setelah acara berakhir mereka seperti hilang entah kemana. Mungkin memang karena peminatnya “musiman” atau dengan kata lain pembelinya agar terlihat klasik di even klasik mereka akan mengkonsumsi makanan klasik pula. Begitu even klasik berganti menjadi rutinitas sehari-hari (baca : modern) makanan pun berganti. Just my opinion. Di luar gerobak es tersebut tertulis “Es Goyang - Tempo Doeloe – Masa Lalu” dengan potret bapak penjual es yang bersangkutan. Eye catching juga gerobak ini. Sayang saat saya membeli, es goyangnya hanya tersisa ukuran kecil saja. Yang berukuran sebesar Walls Paddlepop Rp 1.500- telah ludes. Namun harga es goyang kecil ini benar-benar harga “masa lalu”, Rp 1.000,- saja. Bayangkan jika es tersebut dijual di area festival seperti MTD, pasti akan melonjak beberapa kali lipat.Es goyang rasa kacang hijau dan coklat telah berpindah ke tangan saya. Rasanya segar, dingin, manis dan gurih khas santan. 



Mengingatkan saya es goyang era SD dengan harga yang sama. Alhamdulillah, melepas dahaga dengan salah satu warisan kuliner Indonesia ini. Uniknya, es goyang yang notabene makanan anak-anak, siang itu ramai dibeli oleh bapak-bapak dan mas-mas seumuran saya tanpa ada satu anak kecil dan remaja pun yang membeli. Kebetulan?Atau anak kecil & remaja sekarang lebih memilih jajan di food court sekarang??Who know’s. Yang jelas menikmati es goyang membawa para pembeli termasuk saya ke masa kecil mereka.Dan yang terpenting ikut melestarikan makanan endemik Indonesia.=)

Sabtu, 21 September 2013

Perhitungan Biaya Backpacker Ke Kawah Ijen Via Banyuwangi

Jika sobat traveler dan backpacker ingin ke Kawah Ijen via Banyuwangi atau sekedar membuat itinerary kesana, silahkan di-download file Excel itinerary saya.  Semoga bermanfaat.=)


--Download--


Selasa, 17 September 2013

Backpacker Ke Kawah Ijen (Ijen Crater) – 3 (habis) : Akhirnya Di Kawah Ijen

Dini hari itu jalan setapak menuju Kawah Ijen terasa sepi. Hanya ada beberapa penambang yang berhenti sedang merokok sembari menghangatkan badan. Berhubung akhir bulan, langit saat itu cukup cerah sehingga suasana masih “terang” dan tanpa senter pun jalan sudah terlihat. Medan awal terasa mudah karena kemiringannya tidak lebih dari 10°. 20 menit kami berjalan di medan seperti itu. Lalu terdengar langkah kaki penambang yang meng-overlap kami dengan cepat. Evan yang katanya baru pertama kali ini mendaki gunung (baik gunung wisata atau gunung sebenarnya) berjalan beriringan dengan penambang tersebut sambil ngobrol. Tak terasa 5 menit kemudian, manusia ini sudah menghilang dibalik tanjakan pertama dan disambung tanjakan berikutnya. Sekitar 5 menit kemudian barulah kami bisa menyusulnya. “Cepet banget ini orang”,gumam saya. Tanjakan,tanjakan, dan tanjakan. Medan dengan kemiringan hingga 30°  ini seakan tak pernah habis hingga kami sampai di Pos Bunder, tempat penimbangan belerang pertama sebelum ditimbang di Paltuding. Disini ternyata sudah banyak rombongan yang berangkat lebih dulu sedang beristirahat. Kebanyakan adalah rombongan keluarga, komunitas, dan anak sekolah yang datang beramai-ramai. Sedangkan wisatawan mancanegara saya lihat masih sedikit. Mungkin mereka belum berangkat. Saat itu pukul 02.15 di Pos Bunder. Sepanjang perjalanan kesini, pada beberapa kali kesempatan istirahat, saya melihat siluet gunung Raung yang dielimuti lautan awan dibawahnya. Sangat indah. Setelah 5 menit beristirahat, perjalanan dilanjutkan kembali. Masih ada sedikit tanjakan yang tersisa namun hanya sekitar 100 meter saja setelah itu medan menjadi landai. Bibir Kawah Ijen mulai tampak tersorot oleh sinar-sinar senter yang menjelajahinya. Akhirnya sekitar pukul 03.10, kami sampai di jalan setapak menuju blue fire yang legendaris tersebut. 


Kami berhenti sejenak untuk melepas penat. Mata terasa pedih karena terkena asap belerang dari bawah. Darisitu, blue fire terlihat cukup jelas sedangkan kawah hijau tosca disampingnya belum terlihat. Dinginnya suhu saat itu membuat saya menggigil kedinginan. Kaos ditambah sweater dan jaket Rei windproof saya tidak mampu menahan serangan suhu di kisaran 7°. Mas Harris mengajak untuk turun ke kawah demi melihat blue fire dari dekat. Namun karena badan kedinginan dan jalan menuju kesana sangat curam serta terjal kami memutuskan tetap berada di situ. Mas Harris segera memasang tripod dan mengambil gambar blue fire yang infonya hanya ada 2 di dunia yaitu di sini dan di Islandia. Sekitar pukul 04:00, mulai berdatangan wisatawan-wisatawan mancanegara di tempat kami duduk. Mereka mayoritas memilih turun ke bawah untuk melihat blue fire didampingi guide lokal. Jauh-jauh ke Indonesia harus liat blue fire donk. Mungkin begitu kata mereka dalam hati. Suhu tak kunjung membaik membuat saya, Kang Ari dan Evan pergi mencari kehangatan dengan mencobamenyalakan api unggun. Sedangkan Mas Harris masih sibuk mengambil gambar. Dinginnya suhu dan tipisnya oksigen membuat acara api unggun kami seperti komedi. Bekali-kali pematik api di tangan Kang Ari coba dinyalakan namun nyala apinya kecil dan 1 detik kemudian mati tertiup angin. Bergantian kami bertiga mematik api tapi tak kunjung berhasil juga padahal didepan kami bahan bakar seperti kaleng popmie dan kayu telah banyak tersedia. Ditambah lagi dengan tangan yang gemetar, semakin mempersulit kemunculan api yang kami butuhkan. Mengingatkan saya pada salah satu adegan di “Kungfu Hustle” ketika bos geng kapak merah akan merokok dan meminta api kepada wakilnya namun api tak kunjung bisa dinyalakan karena tangan bawahan itu bergetar akibat baru saja diancam oleh kedua pendekar kungfu tua,hahahaha. Putus asa. Akhirnya kami bergabung di api unggun milik rombongan lain (kenapa ga daritadi,--“). Sunrise masih sekitar 1 jam lagi, saya mencoba berjalan di bibir kawah yang lebih tinggi untu mendapatkan siluet sunrise dengan Gunung Raung. Namun jalan menuju kesana ternyata cukup sempit, curam, dan berlubang. Karena sandal gunung saya terasa kurang mencengkeram, saya urungkan niat tersebut. Tak apalah, pemandangan dibawah juga tak kalah indah. Akhirnya, sekitar pukul 05:40, matahari mulai menampakkan sinarnya. Asap kawah dan kabut mulai berkurang sehingga Kawah Ijen terlihat dengan cukup jelas. Subhanallah. Kembali saya bersyukur ketika masih diberi kesempatan (dan rejeki,hehe) untuk melihat indah ciptaan-Nya. 

Click to enlarge


Kawah dengan warna hijau tosca diiringi siluet langit berwarna kuning keemasan sangat memanjakan mata. Sampai saya lupa mengabadikannya,hehehe. Suhu mulai hangat dan kami kembali ke tempat semula menyusul Mas Harris.  Setelah beberapa kali narsis, kami naik ke atas jalan setapak. 



Semakin lama, semakin ramai saja tempat ini. Membuat saya dan Mas Harris beberapa kali harus mengingatkan pengunjung di sekitar kami yang sedang asyik berfoto agar minggir ketika ada beberapa penambang lewat. Heran, seharusnya mereka mendengar decit pikulan penambang sehingga mereka juga harus menepi tanpa diingatkan. Yasudahlah. Tak lama disitu, sekitar pukul 06:20, kami bergegas turun. Di pagi hari seperti ini medan yang kami lalu terlihat jelas. 





Tanah berpasir dengan sedikit siraman embun di kanan-kirinya. Di samping jalan adalah tebing berbatu yang tidak terlalu curam. Di sisi sebaliknya, saya bisa melihat pemandangan lembah dan Gunung Raung berdiri berdampingan. Ada juga spot seperti hutan mati mirip di Gunung Papandayan namun tidak terlalu luas.


Tanjakan-tanjakan yang kami hadapai semalam berubah menjadi turunan berpasir. Licin?Pasti. Tak terhitung jumlah pengunjung yang terpeleset ketika menuruninya. Rata-rata dari mereka memang tidak menggunakan sandal atau sepatu untuk pendakian jadi wajar. Namun di satu titik saya sempat terpeleset juga bahkan “duet” dengan pengunjung di depan saya. Jadi, setelah saya menolong pengunjung tersebut, 30 detik kemudian sayalah yang terpeleset,hahaha. 


Benar-benar komedi. Lepas dari keterpelesetan saya, memang dengan medan seperti itu lebih baik memilih jalan yang sedikit basah tersiram embun karena lebih padat.Sekitar pukul 07:30, kami sampai di pintu masuk sekaligus pintu keluar. Rencananya, kami menumpang truk karyawan perkebunan hingga Sempol. Kemudian lanjut dengan ojek ke Bondowoso, setelah itu menumpang bis ke Probolinggo. Namun karena truk karyawan ternyata sudah lewat, kami akhirnya menumpang truk belerang lagi menuju Jambu. Setelah menunggu sekitar 3,5 jam dan sempat makan di warung para penambang (nasi-sayur-telor ceplok @ Rp6.000,- murah dan bergizi,hehehe), truk akhirnya berangkat. Seperti biasa, bayarnya cukup Rp 5.000,- dan turun di Jambu. 


Segera, saya hubungi bapak ojek yang kemarin menawari saya untuk diantar dari Jambu ke Ketapang untuk menjemput kami. Sambil menunggu, kami sempat berbincang dengan seorang pengemudi hardtop.Ternyata, ongkos sewa hardtop sekitar Rp 450.000,- (muat bertujuh) dengan fasilitas diantar pulang-pergi dari Stasiun Karang Asem atau Terminal Karangente-Kawah Ijen-Stasiun Karang Asem atau Terminal Karang Ente lagi dengan syarat one day trip (dari tempat penjemputan sore/malam dan kembali ketika siang ke tempat penjemputan). Selain itu ada juga paket wisata ke TN. Baluran, TN. Alas Purwo, dan Pulau Merah.Yaa, cukup terjangkaulah jika rame-rame jadi saya simpan saja CP-nya siapa tahu saya membawa rombongan ke sini (jika ingin CP sopir pickup, ojek, dan hardtop kontak via e-mail ya), hehehe. Sekitar 30 menit kemudian, kami sudah dalam perjalanan menuju Terminal Ketapang. Sekitar pukul 15:30, kami berpulang ke Malang melewat jalur utara (Banyuwangi-Situbondo-Probolinggo-Malang/Surabaya). Oya, jika menuju Malang atau Surabaya, lebih baik melewati jalur utara karena perjalanan akan lebih cepat sekitar 1 hingga 2 jam daripada melewati jalur selatan (Banyuwangi-Jember-Lumajang-Probolinggo-Malang/Surabaya).Dengan total ongkos sekitar Rp 50.000,- walaupun bis kami sering berhenti karena mengalami masalah pada ban, sekitar pukul 00:30 Senin pagi kami sampai di kediaman masing-masing. 


Alhamdulillah, what a great trip!!! =). Oya, klik disini buat liat itinerary format excel...=)

Kamis, 12 September 2013

Backpacker Ke Kawah Ijen (Ijen Crater) - 2 : Goyang Dangdut Suhu 11°

Akhirnya kami berempat sampai juga di Paltuding. Sempat kaget juga begitu sampai di gerbang selamat datang ada spanduk bertuliskan “Kawah ditutup sementara untuk berbagai aktivitas  penelitian, pendakian,....”. Wah, apakah perjalanan sejauh ini sia-sia?. Ternyata tidak. Itu adalah spanduk yang sudah terpasang sejak 1,5 tahun yang lalu mengingat status kawah yang fluktuatif maka spanduk tersebut tidak dilepas demi alasan kewaspadaaan. Untunglah. 


Paltuding (click for larger image)
Di sekitar gerbang masuk banyak terparkir mobil-mobil pengunjung baik lokal maupun mancanegara. Sepertinya yang berkunjung ala backpacker (baca : menumpang truk belerang) hanya kami berempat saja,hehehe. Wisatawan banyak terlihat mulai mendaki ke kawah siang itu. Umumnya mereka adalah rombongan keluarga yang berencana untuk melihat kawah saja tanpa suguhan blue fire. Pilihan yang bijak karena mereka membawa anak kecil sehingga akan sangat riskan jika diajak mendaki pada dini hari dengan suhu dibawah 10° C. Karena tidak berencana mendaki siang itu, kami memilih beristirahat di saung yang banyak tersedia Paltuding. 

Ngaso dulu. Dari kiri : Kang Ari, Mas Harris, Evan, & Saya
Cukup nyaman walaupun saya tidak menemukan adanya lampu maupun stop kontak di saung tersebut. Sinyal HP pun sudah “terbunuh” sejak kami menjejakkan kaki di bak truk penambang belerang. Wajarlah karena tidak ada BTS disana. Selain itu, sumber listrik di Paltuding berasal dari generator yang dinyalakan selepas Isya hingga menjelang matahari terbit. Sungguh ironis mengingat Kawah Ijen adalah salah satu gunung dengan potensi panas bumi yang baik sehingga bisa diupayakan pembangkit tenaga listrik geothermal. Dengan perangkat telekomunikasi dan aliran listrik yang cukup, potensi wisata akan berkembang lebih maksimal. Semoga saja para pengurus kawasan wisata ini terus berbenah ditengah segala keterbatasan yang ada. Masih sekitar 15 jam lagi sebelum mendaki. Saya memutuskan untuk berkeliling Paltuding sembari menghabiskan waktu setelah sempat tertidur selama 1 jam. Paltuding ternyata tidak terlalu luas. Hanya ada 2 warung makan disini. Ada juga beberapa pondok sederhana yang dikelola Perhutani untuk disewakan kepada pengunjung.  

Evan di depan pondok yang juga merangkap kantor petugas
Rate-nya sekitar Rp 100.000,- s/d Rp 150.000,- per malam. Di dalamnya jangan bayangkan fasilitas layaknya hotel di kota, hanya ada kasur (ada tikar) dan lemari saja namun masih layak untuk menjadi tempat beristirahat. Di beberapa lokasi, saya juga menemui 2 villa kecil yang fasilitasnya tidak jauh berbeda. Di depan pintunya tertulis “No Rent”. Sepertinya telah dipesan jauh-jauh hari oleh pengunjung lain. Toilet dan mushola juga tersedia di Paltuding walaupun kondisinya memprihatinkan. Kiriman air yang kerap tersendat membuat Paltuding miskin air sehingga kedua fasilitas tersebut terbengkalai. Bisa berabe kalau ingin buang air besar,hehehe. Jadi bagi anda yang ingin berkunjung kesini, bersiaplah dengan segala kemungkinan,hehehe. Bergeser ke sebelah barat, saya menemukan camping ground seluas lapangan sepakbola dengan beberapa pondok di pinggir. 

Camping ground dengan kepulan asap kawah di belakangnya
Saya lalu bergeser ke utara. Disini saya menemukan jalan setapak menuju ke Kawah Ijen. Tertulis dari Paltuding menuju Ke Kawah Ijen sejauh 3 km. 


Jalan setapak itu terbelah menjadi dua ketika diamati dari arah sebaliknya. Jika lurus akan sampai ke arah gerbang masuk sekaligus keluar. Sedangkan belok kiri untuk menuju ke pos penimbangan belerang. Jalur yang terakhir inilah yang dilewati para penambang belerang yang legendaris itu. 

 

Kebetulan jalur ini melewati saung yang saya gunakan tadi jadi ketika saya kembali nanti kemungkinan besar bisa sekaligus mengamati aktivitas para penambang tersebut. Puas berkeliling, saya kembali ke saung untuk beristirahat. Tak lama terdengar suara decit bambu pikulan penambang lewat didepan saya. 


Sungguh suatu momen yang mengingatkan saya bahwa hidup itu perjuangan. Sekeras perjuangan telur burung untuk menetas atau disingkirkan dari sarang yang dibawa Viru Strasshbuddi di “3 Idiots”. Tak lama, saya pun terlelap kembali selepas menunaikan shalat dhuhur. Saya bangun sekitar pukul 3 sore. Daripada nganggur, kami ngobrol dengan bapak pengurus pondok. Beliau mengatakan sebaiknya kami menuju ke sumber air panas yang letaknya sekitar 2 km dari Paltuding. “Lumayan untuk menghabiskan waktu sembari hunting sunset yang indah”,begitu kata beliau. Namun kami memilih untuk tetap di Paltuding karena merasa masih lelah untuk berjalan kesana. Kami memilih narsis di gerbang masuk untuk menghabiskan waktu,hehehe.

 


Malam mulai menjelang. Suhu mulai terasa sangat dingin dan kami memutuskan untuk merapat ke Warung Bu Im untuk makan malam sekaligus menghangatkan diri di sekitar perapian. Semangkuk mi instan+telor seharga Rp 9.000,- menjadi teman perut kami. Dari dalam warung, terlihat wisatawan mulai banyak berdatangan. Kebanyakan dari mereka membawa sepeda motor dan sepertinya berniat mendaki pada dini hari seperti kami. Semakin malam justru semakin ramai.Jadi jangan bayangkan Paltuding saat itu sepi seperti di kuburan mengingat tempatnya di kaki gunung. Karena saat itu weekend, Paltuding tak ubahnya desa kecil yang sedang menggelar konser dangdut, K-O-N-S-E-R-D-A-N-G-D-U-T. Ternyata vila yang saya temukan tadi disewa oleh para pengunjung yang kebetulan (atau disengaja)membawa genset pribadi lengkap dengan peralatan karaoke untuk berkaraoke di Paltuding (baca : niat banget). ”Pengenku sms-an, wedi karo bojomuuuuu....”sepenggal lirik lagu dangdut Jawa Timur-an yang tak henti-hentinya dinyanyikan oleh para pengunjung yang bersangkutan. Nampaknya Kawah Ijen tak mau kalah dengan Gunung Bromo untuk masalah “festival” musik. Jika di Bromo ada Jazz Gunung, di Kawah Ijen ada Dangdut Gunung, hehehe. Cukup lama kami di dalam warung sebelum menuju saung untuk membuat api unggun. 11° C adalah suhu yang tercatat di termometer malam itu. Bahkan kata Bu Im sebelumnya, suhu selepas jam 12 malam bisa drop hingga dibawah itu. Sempat berpikir jika di Paltuding saja suhunya sedingin itu, apalagi di sekitar Kawah Ijen. Ah, sudahlah. Optimis dan nikmati saja,hehehe. Ketika api unggun mulai padam sekitar pukul 01:00 WIB dan (masih) diiringi alunan lagu dangdut Jawa Timur-an, kami berempat mulai bergerak menuju ke Kawah Ijen.=)