Akhirnya kami berempat sampai juga di
Paltuding. Sempat kaget juga begitu sampai di gerbang selamat datang ada
spanduk bertuliskan “Kawah ditutup sementara untuk berbagai aktivitas penelitian, pendakian,....”. Wah, apakah perjalanan sejauh ini
sia-sia?. Ternyata tidak. Itu adalah spanduk yang sudah terpasang sejak 1,5
tahun yang lalu mengingat status kawah yang fluktuatif maka spanduk tersebut
tidak dilepas demi alasan kewaspadaaan. Untunglah.
Paltuding (click for larger image) |
Di sekitar gerbang masuk
banyak terparkir mobil-mobil pengunjung baik lokal maupun mancanegara.
Sepertinya yang berkunjung ala backpacker
(baca : menumpang truk belerang) hanya kami berempat saja,hehehe. Wisatawan
banyak terlihat mulai mendaki ke kawah siang itu. Umumnya mereka adalah
rombongan keluarga yang berencana untuk melihat kawah saja tanpa suguhan blue fire. Pilihan yang bijak karena
mereka membawa anak kecil sehingga akan sangat riskan jika diajak mendaki pada
dini hari dengan suhu dibawah 10° C. Karena tidak
berencana mendaki siang itu, kami memilih beristirahat di saung yang banyak tersedia Paltuding.
Ngaso dulu. Dari kiri : Kang Ari, Mas Harris, Evan, & Saya |
Cukup nyaman walaupun saya
tidak menemukan adanya lampu maupun stop kontak di saung tersebut. Sinyal HP pun sudah “terbunuh” sejak kami menjejakkan
kaki di bak truk penambang belerang. Wajarlah karena tidak ada BTS disana.
Selain itu, sumber listrik di Paltuding berasal dari generator yang dinyalakan
selepas Isya hingga menjelang matahari terbit. Sungguh ironis mengingat Kawah
Ijen adalah salah satu gunung dengan potensi panas bumi yang baik sehingga bisa
diupayakan pembangkit tenaga listrik geothermal. Dengan perangkat
telekomunikasi dan aliran listrik yang cukup, potensi wisata akan berkembang
lebih maksimal. Semoga saja para pengurus kawasan wisata ini terus berbenah
ditengah segala keterbatasan yang ada. Masih sekitar 15 jam lagi sebelum
mendaki. Saya memutuskan untuk berkeliling Paltuding sembari menghabiskan waktu
setelah sempat tertidur selama 1 jam. Paltuding ternyata tidak terlalu luas.
Hanya ada 2 warung makan disini. Ada juga beberapa pondok sederhana yang
dikelola Perhutani untuk disewakan kepada pengunjung.
Evan di depan pondok yang juga merangkap kantor petugas |
Rate-nya sekitar Rp 100.000,- s/d Rp 150.000,- per malam. Di
dalamnya jangan bayangkan fasilitas layaknya hotel di kota, hanya ada kasur
(ada tikar) dan lemari saja namun masih layak untuk menjadi tempat
beristirahat. Di beberapa lokasi, saya juga menemui 2 villa kecil yang
fasilitasnya tidak jauh berbeda. Di depan pintunya tertulis “No Rent”.
Sepertinya telah dipesan jauh-jauh hari oleh pengunjung lain. Toilet dan
mushola juga tersedia di Paltuding walaupun kondisinya memprihatinkan. Kiriman
air yang kerap tersendat membuat Paltuding miskin air sehingga kedua fasilitas
tersebut terbengkalai. Bisa berabe kalau
ingin buang air besar,hehehe. Jadi bagi anda yang ingin berkunjung kesini,
bersiaplah dengan segala kemungkinan,hehehe. Bergeser ke sebelah barat, saya
menemukan camping ground seluas
lapangan sepakbola dengan beberapa pondok di pinggir.
Camping ground dengan kepulan asap kawah di belakangnya |
Saya lalu bergeser ke
utara. Disini saya menemukan jalan setapak menuju ke Kawah Ijen. Tertulis dari
Paltuding menuju Ke Kawah Ijen sejauh 3 km.
Jalan setapak itu terbelah menjadi
dua ketika diamati dari arah sebaliknya. Jika lurus akan sampai ke arah gerbang
masuk sekaligus keluar. Sedangkan belok kiri untuk menuju ke pos penimbangan
belerang. Jalur yang terakhir inilah yang dilewati para penambang belerang yang
legendaris itu.
Kebetulan jalur ini melewati saung yang saya gunakan tadi jadi
ketika saya kembali nanti kemungkinan besar bisa sekaligus mengamati aktivitas
para penambang tersebut. Puas berkeliling, saya kembali ke saung untuk
beristirahat. Tak lama terdengar suara decit
bambu pikulan penambang lewat didepan saya.
Sungguh suatu momen yang
mengingatkan saya bahwa hidup itu perjuangan. Sekeras perjuangan telur burung
untuk menetas atau disingkirkan dari sarang yang dibawa Viru Strasshbuddi di “3
Idiots”. Tak lama, saya pun terlelap kembali selepas menunaikan shalat dhuhur.
Saya bangun sekitar pukul 3 sore. Daripada nganggur,
kami ngobrol dengan bapak pengurus
pondok. Beliau mengatakan sebaiknya kami menuju ke sumber air panas yang
letaknya sekitar 2 km dari Paltuding. “Lumayan
untuk menghabiskan waktu sembari hunting
sunset yang indah”,begitu kata beliau. Namun kami memilih untuk tetap di
Paltuding karena merasa masih lelah untuk berjalan kesana. Kami memilih narsis di gerbang masuk untuk
menghabiskan waktu,hehehe.
Malam mulai menjelang. Suhu mulai terasa sangat
dingin dan kami memutuskan untuk merapat ke Warung Bu Im untuk makan malam sekaligus
menghangatkan diri di sekitar perapian. Semangkuk mi instan+telor seharga Rp
9.000,- menjadi teman perut kami. Dari dalam warung, terlihat wisatawan mulai
banyak berdatangan. Kebanyakan dari mereka membawa sepeda motor dan sepertinya
berniat mendaki pada dini hari seperti kami. Semakin malam justru semakin
ramai.Jadi jangan bayangkan Paltuding saat itu sepi seperti di kuburan mengingat tempatnya di kaki
gunung. Karena saat itu weekend, Paltuding
tak ubahnya desa kecil yang sedang menggelar konser dangdut,
K-O-N-S-E-R-D-A-N-G-D-U-T. Ternyata vila yang saya temukan tadi disewa oleh
para pengunjung yang kebetulan (atau disengaja)membawa
genset pribadi lengkap dengan peralatan karaoke untuk berkaraoke di Paltuding
(baca : niat banget). ”Pengenku sms-an, wedi karo bojomuuuuu....”sepenggal
lirik lagu dangdut Jawa Timur-an yang tak henti-hentinya dinyanyikan oleh para
pengunjung yang bersangkutan. Nampaknya Kawah Ijen tak mau kalah dengan Gunung
Bromo untuk masalah “festival” musik. Jika di Bromo ada Jazz Gunung, di Kawah
Ijen ada Dangdut Gunung, hehehe. Cukup lama kami di dalam warung sebelum menuju
saung untuk membuat api unggun. 11° C adalah suhu
yang tercatat di termometer malam itu. Bahkan kata Bu Im sebelumnya, suhu
selepas jam 12 malam bisa drop hingga
dibawah itu. Sempat berpikir jika di Paltuding saja suhunya sedingin itu,
apalagi di sekitar Kawah Ijen. Ah, sudahlah.
Optimis dan nikmati saja,hehehe. Ketika api unggun mulai padam sekitar pukul
01:00 WIB dan (masih) diiringi alunan lagu dangdut Jawa Timur-an, kami berempat
mulai bergerak menuju ke Kawah Ijen.=)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar