Sesuai dengan prediksi kami di awal, kami tiba
di Semarang dalam waktu 30 menit. Kami turun di flyover Jl. Raya Kaligawe, di
dekat lokasi Jamu Nyonya Meneer. Destinasi pertama kami adalah Masjid Agung
Jawa Tengah yang terletak di sekitar kawasan Gajah. Kenapa disebut
gajah??Karena selain jalan di area tersebut dinamai nama-nama binatang salah
satunya gajah, berbagai toko di kawasan tersebut menambahkan kata gajah di
belakang nama toko mereka, misal Warung Nasi Gajah, Toserba Gajah, dan
sebagainya. Unik. Dri tempat kami turun dari bus antarkota, kami melanjutkan
perjalanan dengan minibus, mirip kopaja di Jakarta. Tarif yang dipatok Rp
4.000,- saja. Sempat di-palakin pengamen(pengemis
lebih tepatnya) juga yang memaksakan receh dengan membentak-bentak dan
mendorong kantong uangnya ke badan kami berdua. Setelah diberi pun masih ngeyel minta rokok padahal kami tidak
merokok. Akhirnya setelah 10 menit “kopaja” berjalan, kami tiba di depan pintu
masuk Masjid Agung Jawa Tengah. Subhanallah.
Masjid yang sangat besar dan megah.
Di sepanjang pintu masuk akan ditemui 5
plakat di atas kolam yang berisi masing-masing lima rukun Islam. Dilanjutkan
dengan gapura bergaya Arab dengan air mancur di tengahnya. Beberapa komponen dari masjid ini menjadi landmark bagi Jawa Tengah khususnya
Semarang. Enam payung raksasa yang dapat terbuka secara otomatis menjadi hal
yang paling unik dari masjid ini.
Seperti payung raksasa yang digunakan di Masjid Nabawi di Mekkah.
Di sisi lain,
terdapat menara setinggi 19 lantai yang berfungsi juga sebagi museum sejarah
Islam, resto putar, dan menara pandang. Di kanan kiri masjid terdapat dua
gedung yang fungsinya seperti kantor dengan arsitektur yang senada. Kami segera
beranjak menuju ke dalam masjid untuk sholat dan melepas penat sejenak. Udara
yang cukup panas membuat kami berjingkat ketika memasuki area suci dalam masjid
yang jaraknya masih sekitar 20 meter dari bangunan utama,hehe. Di dalam masjid
cukup lengang karena saat itu memang belum masuk waktu sholat. Hanya ada
beberapa pengunjung lokal berbincang –bincang santai di sekitar teras masjid.
Masuk kedalam, interior masjid terasa klasik dengan sentuhan budaya Jawa.
Strutur atap sebagian menggunakan kayu dipadu dengan beton dengan beberapa
hiasan di area dinding. Di bagian basement, ada temat wudhu ang dilengkapi
dengan kamar mandi. Ada juga tempat sholat di sini sebagai perluasan aula utama
masjid namun terkesan gelap karena letaknya dibawah dengan sedikit pencahayaan.
Di bagian depan pintu masuk, terdapat Al-Quran raksasa yang berukuran kurang
lebih satu setengah meter lengkap dengan meja Al-Qur’an raksasa juga.Puas
berkeliling, karena terasa lelah, saya dan kang Ari sempat terlelap sejenak sembari
menunggu masuk waktu sholat Ashar. Kami dibangunkan oleh suara adzan sholat
Ashar dan segera mengambil air wudhu. Setelah sholat, kami menyempatkan diri
untuk mandi sejenak di kamar mandi masjid. Kami menyempatkan diri mencoba naik
ke menara pandang. Dengan tiket seharga Rp 5.000,-, kita dapat menyaksikan kota
Semarang dari ketinggian. Jika ingin lebih jelas, rogoh kocek sebesar Rp
2.000,- untuk menyewa teropong.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju
Simpang Lima Semarang. Sebenarnya ada beberapa lokasi yang terlewat, seperti
Pagoda Alokitsevara(begitukaah ejaannya??hehe...) namun waktu tidak mengijinkan
sehingga lebih baik kami lewatkan saja. Dengan berjalan kaki, perjalanan sejauh
6 km ke Simpang Lima kami mulai. Rute yang kami lalui adalah Jalan Gajah-Jalan
Majapahit-Jalan Ahmad Yani-Simpang Lima. Walaupun di GPS terasa dekat, tapi in fact tetap saja jauh seperti lari
marathon apalagi dengan stamina yang tinggal separuh,hehehe.Tapi semangat kami
masih penuh, jadi perjalanan harus tetap berlanjut. Jika anda ingin nyaman dan
cepat sampai, ada alternatif lain yaitu menaiki bus Rapin Trans arah Simpang
Lima. Bus ini seperti bus Trans-Jogja yang ada di daerah Jogja. Dengan tarif
sekitar Rp 3.500,-, bisa berkeliling Kota Semarang. Akhirnya sekitar 2 jam
perjalanan, kami sampai di Simpang Lima.
Simpang Lima Semarang adalah kawasan
alun-alun di tengah jalan bersimpang lima menuju Purwodadi serta Solo. Di
beberapa sudut, terdapat deretan pedagang kaki lima yang menjual berbagai
aksesoris dan nasi kucing dipadukan dengan
gemerlap lampu dari beberapa department store. Di area utama alun alun,
banyak pengunjung yang berkumpul untuk sekedar ngobrol, makan, bermain roller blade, skuter, dan sebagainya.
Suasana cukup ramai dan bemandikan lampu sehingga kesan gelap dan kumuh yang
biasanya melekat pada alun-alun dapat terhindarkan. Sembari mengisi perut
dengan dua bungkus nasi kucing, saya mengabadikan momen-momen tersebut. Yup,
stamina telah terisi kembali. Perjalanan dilanjutkan menuju kawasan Lawang
Sewu. Sekitar 3 km ke arah barat dari Simpang Lima. Dari sini kaki saya sudah
mulai cenat-cenut karena sejak dari Solo kemarin kami memang ramah lingkungan
(dan dompet) sekali dengan banyak berjalan, hehehe. Ah, tapi saya tahan saja
karena semangat masih oke. Kami melewati Jalan Pandanaran, salah satu sentra
oleh-oleh khas Semarang. Disini dapat ditemui berbagi macam makanan ikonik
Semarang yaitu lumpia, wingko babat, bandeng presto, dan sebagainya. Setelah
survey beberapa tempat, pilihan kami jatuh pada toko Bandeng Juwana karena dari
depan terlihat paling ramai diantara yang lain. Segera kami memilih beberapa
panganan untuk dibawa pulang. Saya sendiri memilih Tahu Serasi Bandungan, yang
sebenarnya adalah makanan khas Ambarawa karena sudah cukup sering menerima
oleh-oleh bandeng presto dan wingko babat dari beberapa kerabat. Selain itu,
saya juga mengambil sekotak kue muaci/mochi Semarang. Kang Ari sendiri lebih
memilih sekotak wingko babat dan sekotak Bakpia Pathok 25 yang sudah familiar
di mata para pmburu oleh-oleh. Total harga keempat oleh-oleh tadi adalah Rp
119.000,-.
Kaki-kaki lelah kami segera berjalan kembali. Tidak jauh dari situ,
terdapat Lawang Sewu.
Kantor Pusat PT.KAI di masa kolonialisme. Bangunan tua
yang arsitekturnya tetap terjaga khas Belanda. Memilikipilar-pilar besar yang
beriringan dengan pintu-pintu yang jumlahnya konon ratusan. Aura Lawang Sewu
yang mistis bercampur dengan megah membuat tempat itu ramai dikunjungi walaupun
jam telah menunjukkan pukul 21.00. Rasa lelah mendera kami membuat taman kota
di area Tugu Muda di depan Lawang Sewu menjadi tempat persinggahan selanjutnya.
Tak berselang lama, kami memutuskan untuk segera menuju ke Stasiun Semarang
Poncol agar kami bisa beristirahat lebih leluasa sembari menunggu datangnya
kereta Kahuripan yang akan mengantar kami pulang beberapa jam lagi. Setelah deal dengan bapak tukang becak pada
harga Rp 15.000,-, kami segera mengakhiri perjalanan menuju stasiun tersebut. Semarang memang kota yang unik dengan
arsitekturnya yang klasik bercampur modern dan masih terjaga dengan baik.
Udaranya yang panas baik pada siang maupun malam hari tidak akan menghalangi
niat kami untuk kembali ke sana pada lain waktu. Masih banyak lokasi yang layak
untuk disinggahi. Maybe next time (again)!!!=)