OSPEK atau MOS dan segala hal yang
berhubungan dengan orientasi peserta didik baru terhadap lingkungan
pendidikan baru (dalam hal ini kampus) selama ini selalu terkesan
sebagai ajang yang sarat dengan tindakan bullying baik secara
mental dan psikis oleh para penyelenggaranya. Sebagai salah seorang
yang telah merasakan hal tersebut, kiranya pernyataan tersebut hampir
sepenuhnya benar. Sistem yang dianut pada orientasi pendidikan
khususnya di kampus, nampak seperti ajang balas dendam, plonco,
dan sebagainya. Hal ini juga disebabkan karena otoritas kampus
hanya bertindak sebagai pengawas dan pemberi ijin saja. Seharusnya
akan lebih baik jika dalam susunan acara dan peraturan yang
dilaksanakan di lapangan mereka juga harus campur tangan untuk
mencegah terjadinya hal ini. Bagaimanapun, panitia yang bertugas pada
acara seperti ini tidak lain adalah mahasiswa yang masih belajar dan
mencari pengalaman dalam suatu organisasi sehingga perlu ada
bimbingan dari otoritas kampus yang berwenang
secara langsung semisal kemahasiswaan dan sebagainya. Jika hal
ini dibiarkan dengan alasan “memang sudah budaya” akan terjadi
kemunduran “secara diam-diam” di dalam dunia pendidikan di tengah
segala perbaikan yang sedang dilakukan oleh dunia pendidikan. Sebagai
contoh umum, di beberapa universitas di terkemuka di tempat saya
menempuh pendidikan, masa orientasi selalu dilakukan dengan prinsip
“inilah situasi kampus nanti dan di dunia kerja nanti”. Tidak
masuk akal. Pertama, secara logika ketika memasuki dunia kerja
tentunya kita akan menjalani masa training yang menjelaskan
bagaimana suasana kerja sesungguhnya. Siapa yang tahu kita akan kerja
seperti apa ketika kita lulus??. Kedua, suasana kampus memang benar
adanya seperti yang dicontohkan pada ospek (banyak tugas dengan
deadline ketat, mendapat tekanan dari dosen, dan sebagainya) tapi
sekali lagi ketika kita kuliah tidak dapat disamaratakan seperti itu.
Siapa yang tahu ketika dosen sering memberi ceramah daripada
tugas??Atau jadwal kuliah yang jarang sehingga kita tidak perlu
begadang??.Belum lagi dengan aktivitas seperti itu si peserta
didik tak sedikit yang jatuh sakit atau mengalami stress atau bahkan
yang paling parah, meninggal. Pada satu kasus di tahun 2012, di suatu
universitas negeri yang bertetangga dengan kampus saya, ada peserta
didik yang mengalami sakit dan harus dilarikan dengan ambulans ke
rumah sakit terdekat, namun ambulans tersebut terhadang oleh long
march peserta didik baru yang membuat macet pintu gerbang
universitas tersebut. Untungnya setelah sekitar 20 menit, ambulans
tersebut dapat keluar dari kemacetan itu dan untungnya lagi si
peserta didik dapat bertahan. Saya yang saat itu terjebak
macek sempat melihat betapa gugupnya staf medis dari panitia
orientasi menghadapi situasi seperti ini. Dari sini terlihat bahwa
pada setiap masa orientasi yang mereka selenggarakan (dari tiga
tahun yang saya amati), hal itu selalu terulang kembali dengan kasus
yang hampir sama dan menandakan ketidaksiapan panitia. Kenapa hal itu
tidak dirubah??. Jika memang mengadakan long march sediakan
jalur evakuasi dan utamakan kepentingan umum yang juga menggunakan
jalur tersebut. Nyawa seseorang bermain disini ketika para panitia
tersebut masih saja sibuk menceritakan apa yang telah mereka lakukan
kepada peserta didik baru dengan sesama panitia dibandingkan siaga
menghadapi segala hal-hal tidak terduga seperti ini. Sungguh suatu
hal yang miris. Pada bahasan lain, ospek juga erat hubungannya dengan
adanya “area steril” maba. Saya kurang tahu apa tujuan dari
diadakannya hal tersebut namun sebagai mahasiswa yang beraktivitas
juga di kampus tersebut hal itu cukup menggangu. Ambil contoh, ketika
ada teman saya yang membutuhkan copy kwitansi untuk pembyaran
wisuda. Di saat deadline pembayaran hari itu, semua fotocopy di
kampus saya mendadak penuh dan teman saya akhirnya menuju ke tempat
fotocopy di kampus itu. Ketika sampai di tempat, teman saya
dihalangi oleh para panitia orientasi yang
melarang masuk dengan mengatakan
bahwa ini area steril mahasiswa baru. Teman
saya pun tidak terima dengan hal tersebut dan tetap memaksa masuk
karena dia sama sekali tidak berhubungan dengan acara orientasi ini
dan ketika dilihat tempat fotocopy itu juga tetap buka seperti
biasa. Apalagi setelah didesak apakah ada aturan yang melarang
mahasiswa diluar mahasiswa baru untuk fotocopy, mereka tetap berkelit
dengan alasan yang sama. Bosan mendebat, akhirnya teman saya
menyerahkan kwitansinya dan menyuruh para panitia tersebut untuk
menggandakannya. Walaupun sempat berkelit (lagi),
akhirnya mereka bersedia melakukannya
dengan sewot. Sangat menggangu,bukan??.
Seringkali ospek
erat kaitannya dengan pembuatan barang-barang aneh yang tidak
bermanfaat dengan tujuan “menyibukkan dan mencari-cari kesalahan”
si peserta didik baru agar menerima hukuman. Belum lagi kegiatan
seperti itu menjadi ladang subur bagi penjual alat-alat kelengkapan
OSPEK/MOS dengan harga yang tidak wajar. Tidakkah mereka berpikir
bagaimana beratnya perjuangan orang tua mencari biaya untuk anak
tercintanya dan harus diperas dengan harga yang tidak wajar untuk
hal-hal yang tidak berguna demi hal yang bias tujuan dan maksudnya??.
Sungguh hal-hal yang membuat orang tua tentu miris melihat beratnya
perjuangan mereka menyekolahkan anak mereka ke jenjang ini. Banyak
peserta didik baru yang tidak paham tentang kampusnya ketika memulai
hari pertama kuliah gara-gara budaya orientasi yang primitif ini.
Akan lebih baik jika semua itu disimulasikan dengan hal-hal yang
lebih positif seperti melakukan kerja bakti, melakukan penghijauan di
suatu tempat, dan sebagainya. Pengenalan kampus dengan cara-cara
seperti berkeliling kampus, sharing/mentoring tentang
kampus, berkunjung ke rumah dosen, atau pengenalan materi
sesuai dengan jurusan masing-masing jauh lebih baik daripada hanya
sekedar bentakan, makian, tekanan, dan sebagainya. Sesungguhnya
hal-hal seperti itu cepat lambat akan dialami oleh setiap orang dalam
masa hidupnya baik di kampus, keluarga, dan dunia kerja kelak. Mereka
akan beradaptasi secara alami tanpa harus melalui simulasi yang tidak
jelas yang terjadi di dunia perguruan tinggi seperti sekarang. Ingat,
para peserta didik itu terseleksi karena kemampuan intelegensi mereka
terhadap bidang yang mereka pelajari tanpa memperhitungkan “fisik
dan mental”. Lain halnya jika mereka adalah aparatur negara seperti
polisi dan militer, sistem pendidikan OSPEK/MOS seperti itu telah
diatur dengan baik dan sesuai porsinya sehingga walaupun penuh dengan
kegiatan fisik dan mental hal itu tetap pada tempatnya karena sejak
awal mendaftar, mereka telah diseleksi berdasarkan intelegensi,
ketahanan fisik dan mental. Sudah saatnya meninggalkan budaya yang
primitif ini dan menciptakan orientasi yang lebih bermartabat dan
tepat guna. Ingat, orientasi itu bermakna pengenalan yang dalam etika
sederhana dalam setiap perkenalan tentu kita harus bersikap baik,
sopan, dan ramah agar relasi yang baru terjalin dapat berjalan baik
dan awet. Tidakkah anda lupa hal tersebut, para panitia masa
orientasi??. =)