Dini hari itu jalan setapak menuju Kawah Ijen terasa
sepi. Hanya ada beberapa penambang yang berhenti sedang merokok sembari
menghangatkan badan. Berhubung akhir bulan, langit saat itu cukup cerah
sehingga suasana masih “terang” dan tanpa senter pun jalan sudah terlihat.
Medan awal terasa mudah karena kemiringannya tidak lebih dari 10°. 20 menit kami berjalan
di medan seperti itu. Lalu terdengar langkah kaki penambang yang meng-overlap kami dengan
cepat. Evan yang katanya baru pertama kali ini mendaki gunung (baik gunung
wisata atau gunung sebenarnya) berjalan beriringan dengan penambang tersebut
sambil ngobrol. Tak terasa 5 menit kemudian, manusia ini sudah menghilang dibalik
tanjakan pertama dan disambung tanjakan berikutnya. Sekitar 5 menit kemudian
barulah kami bisa menyusulnya. “Cepet
banget ini orang”,gumam saya. Tanjakan,tanjakan, dan tanjakan. Medan dengan
kemiringan hingga 30° ini seakan tak pernah habis hingga kami sampai
di Pos Bunder, tempat penimbangan belerang pertama sebelum ditimbang di
Paltuding. Disini ternyata sudah banyak rombongan yang berangkat lebih dulu
sedang beristirahat. Kebanyakan adalah rombongan keluarga, komunitas, dan anak
sekolah yang datang beramai-ramai. Sedangkan wisatawan mancanegara saya lihat
masih sedikit. Mungkin mereka belum berangkat. Saat itu pukul 02.15 di Pos
Bunder. Sepanjang perjalanan kesini, pada beberapa kali kesempatan istirahat,
saya melihat siluet gunung Raung yang dielimuti lautan awan dibawahnya. Sangat
indah. Setelah 5 menit beristirahat, perjalanan dilanjutkan kembali. Masih ada
sedikit tanjakan yang tersisa namun hanya sekitar 100 meter saja setelah itu
medan menjadi landai. Bibir Kawah Ijen mulai tampak tersorot oleh sinar-sinar
senter yang menjelajahinya. Akhirnya sekitar pukul 03.10, kami sampai di jalan
setapak menuju blue fire yang
legendaris tersebut.
Kami berhenti sejenak untuk melepas penat. Mata terasa
pedih karena terkena asap belerang dari bawah. Darisitu, blue fire terlihat cukup jelas sedangkan kawah hijau tosca
disampingnya belum terlihat. Dinginnya suhu saat itu membuat saya menggigil
kedinginan. Kaos ditambah sweater dan jaket Rei windproof saya tidak mampu menahan serangan suhu di kisaran 7°. Mas
Harris mengajak untuk turun ke kawah demi melihat blue fire dari dekat. Namun karena badan kedinginan dan jalan
menuju kesana sangat curam serta terjal kami memutuskan tetap berada di situ.
Mas Harris segera memasang tripod dan mengambil gambar blue fire yang infonya hanya ada 2 di dunia yaitu di sini dan di
Islandia. Sekitar pukul 04:00, mulai berdatangan wisatawan-wisatawan
mancanegara di tempat kami duduk. Mereka mayoritas memilih turun ke bawah untuk
melihat blue fire didampingi guide lokal. Jauh-jauh ke Indonesia
harus liat blue fire donk. Mungkin
begitu kata mereka dalam hati. Suhu tak kunjung membaik membuat saya, Kang Ari
dan Evan pergi mencari kehangatan dengan mencobamenyalakan api unggun.
Sedangkan Mas Harris masih sibuk mengambil gambar. Dinginnya suhu dan tipisnya
oksigen membuat acara api unggun kami seperti komedi. Bekali-kali pematik api
di tangan Kang Ari coba dinyalakan namun nyala apinya kecil dan 1 detik
kemudian mati tertiup angin. Bergantian kami bertiga mematik api tapi tak kunjung
berhasil juga padahal didepan kami bahan bakar seperti kaleng popmie dan kayu
telah banyak tersedia. Ditambah lagi dengan tangan yang
gemetar, semakin mempersulit kemunculan api yang kami butuhkan. Mengingatkan
saya pada salah satu adegan di “Kungfu Hustle” ketika bos geng kapak merah akan
merokok dan meminta api kepada wakilnya namun api tak kunjung bisa dinyalakan
karena tangan bawahan itu bergetar akibat baru saja diancam oleh kedua pendekar
kungfu tua,hahahaha. Putus asa. Akhirnya kami bergabung di api unggun milik
rombongan lain (kenapa ga daritadi,--“).
Sunrise masih sekitar 1 jam lagi, saya mencoba berjalan di bibir kawah yang
lebih tinggi untu mendapatkan siluet sunrise
dengan Gunung Raung. Namun jalan menuju kesana ternyata cukup sempit,
curam, dan berlubang. Karena sandal gunung saya terasa kurang mencengkeram,
saya urungkan niat tersebut. Tak apalah,
pemandangan dibawah juga tak kalah indah. Akhirnya, sekitar pukul 05:40,
matahari mulai menampakkan sinarnya. Asap kawah dan kabut mulai berkurang sehingga
Kawah Ijen terlihat dengan cukup jelas. Subhanallah.
Kembali saya bersyukur ketika masih diberi kesempatan (dan rejeki,hehe) untuk
melihat indah ciptaan-Nya.
|
Click to enlarge |
Kawah dengan warna hijau tosca diiringi siluet
langit berwarna kuning keemasan sangat memanjakan mata. Sampai saya lupa
mengabadikannya,hehehe. Suhu mulai hangat dan kami kembali ke tempat semula
menyusul Mas Harris. Setelah beberapa
kali narsis, kami naik ke atas jalan
setapak.
Semakin lama, semakin ramai saja tempat ini. Membuat saya dan Mas
Harris beberapa kali harus mengingatkan pengunjung di sekitar kami yang sedang
asyik berfoto agar minggir ketika ada beberapa penambang lewat. Heran,
seharusnya mereka mendengar decit pikulan penambang sehingga mereka juga harus
menepi tanpa diingatkan. Yasudahlah. Tak
lama disitu, sekitar pukul 06:20, kami bergegas turun. Di pagi hari seperti ini
medan yang kami lalu terlihat jelas.
Tanah berpasir dengan sedikit siraman
embun di kanan-kirinya. Di samping jalan adalah tebing berbatu yang tidak
terlalu curam. Di sisi sebaliknya, saya bisa melihat pemandangan lembah dan
Gunung Raung berdiri berdampingan. Ada juga spot seperti hutan mati mirip di
Gunung Papandayan namun tidak terlalu luas.
Tanjakan-tanjakan yang kami hadapai
semalam berubah menjadi turunan berpasir. Licin?Pasti. Tak terhitung jumlah
pengunjung yang terpeleset ketika menuruninya. Rata-rata dari mereka memang
tidak menggunakan sandal atau sepatu untuk pendakian jadi wajar. Namun di satu
titik saya sempat terpeleset juga bahkan “duet” dengan pengunjung di depan
saya. Jadi, setelah saya menolong pengunjung tersebut, 30 detik kemudian
sayalah yang terpeleset,hahaha.
Benar-benar komedi. Lepas dari keterpelesetan
saya, memang dengan medan seperti itu lebih baik memilih jalan yang sedikit
basah tersiram embun karena lebih padat.Sekitar pukul 07:30, kami sampai di
pintu masuk sekaligus pintu keluar. Rencananya, kami menumpang truk karyawan
perkebunan hingga Sempol. Kemudian lanjut dengan ojek ke Bondowoso, setelah itu
menumpang bis ke Probolinggo. Namun karena truk karyawan ternyata sudah lewat,
kami akhirnya menumpang truk belerang lagi menuju Jambu. Setelah menunggu
sekitar 3,5 jam dan sempat makan di warung para penambang (nasi-sayur-telor
ceplok @ Rp6.000,- murah dan bergizi,hehehe), truk akhirnya berangkat. Seperti
biasa, bayarnya cukup Rp 5.000,- dan turun di Jambu.
Segera, saya hubungi bapak
ojek yang kemarin menawari saya untuk diantar dari Jambu ke Ketapang untuk
menjemput kami. Sambil menunggu, kami sempat berbincang dengan seorang
pengemudi hardtop.Ternyata, ongkos
sewa hardtop sekitar Rp 450.000,- (muat bertujuh) dengan fasilitas diantar
pulang-pergi dari Stasiun Karang Asem atau Terminal Karangente-Kawah
Ijen-Stasiun Karang Asem atau Terminal Karang Ente lagi dengan syarat one day trip (dari tempat penjemputan
sore/malam dan kembali ketika siang ke tempat penjemputan). Selain itu ada juga paket wisata ke TN. Baluran, TN. Alas Purwo,
dan Pulau Merah.Yaa, cukup terjangkaulah
jika rame-rame jadi saya simpan saja CP-nya siapa tahu saya membawa rombongan
ke sini (jika ingin CP sopir pickup, ojek, dan hardtop kontak via e-mail ya), hehehe. Sekitar 30 menit kemudian,
kami sudah dalam perjalanan menuju Terminal Ketapang. Sekitar pukul 15:30, kami
berpulang ke Malang melewat jalur utara
(Banyuwangi-Situbondo-Probolinggo-Malang/Surabaya). Oya, jika menuju Malang atau Surabaya, lebih baik melewati jalur
utara karena perjalanan akan lebih cepat sekitar 1 hingga 2 jam daripada
melewati jalur selatan (Banyuwangi-Jember-Lumajang-Probolinggo-Malang/Surabaya).Dengan
total ongkos sekitar Rp 50.000,- walaupun bis kami sering berhenti karena
mengalami masalah pada ban, sekitar pukul 00:30 Senin pagi kami sampai di
kediaman masing-masing.
Alhamdulillah, what
a great trip!!! =). Oya, klik disini buat liat itinerary format excel...=)