Tanggal 6 September kemarin saya berkunjung
kembali ke Malang untuk urusan pekerjaan. Kota dimana saya singgah selama 3
tahun untuk menyelesaikan studi D-3 ini tak banyak berubah. Hanya jalan saja
yang semakin hari, semakin macet. Hari itu kebetulan hari jum’at dan saya
memilih untuk melaksanakan sholat jum’at di Masjid Agung Kota Malang yang
letaknya (seperti mayoritas kota-kota di Indonesia) di samping alun-alun kota.
Sholat Jumat berlangsung khidmat dengan khotbah bertemakan mencari rejeki yang
halal untuk anak-anak kita. Selepas sholat jumat, saya berencana untuk
beristirahat sejenak disitu sambil menikmati suasana alun-alun kota Malang yang
terlihat ramai dari kejauhan. Ditambah lagi ada beberapa rombongan yang
nampaknya sedang melakukan tour ziarah
wali dan mahasiswa-mahasiswa yang sedang study
tour juga singgah di tempat itu. Merasa haus, saya segera beranjak mencari
minuman dingin untuk mengatasi dahaga saya. Sejauh mata memandang, saya
menemukan seorang bapak penjual minuman (tadinya saya kira begitu) ramai
dikerubuti orang. Begitu saya dekati ternyata beliau menjual es goyang bukan
minuman dingin.
Es yang menurut sejarah berasal dari Betawi ini ternyata belum
“punah”. Jika di Malang, biasanya saya menemukan es-es jenis ini hanya ketika
even Malang Tempo Doeloe (MTD) bersama es gandul,gulali, dan sebagainya.
Musiman, jadi setelah acara berakhir mereka seperti hilang entah kemana.
Mungkin memang karena peminatnya “musiman” atau dengan kata lain pembelinya
agar terlihat klasik di even klasik mereka akan mengkonsumsi makanan klasik
pula. Begitu even klasik berganti menjadi rutinitas sehari-hari (baca : modern)
makanan pun berganti. Just my opinion. Di
luar gerobak es tersebut tertulis “Es Goyang - Tempo Doeloe – Masa Lalu” dengan
potret bapak penjual es yang bersangkutan. Eye
catching juga gerobak ini. Sayang saat saya membeli, es goyangnya hanya
tersisa ukuran kecil saja. Yang berukuran sebesar Walls Paddlepop
Rp 1.500- telah ludes. Namun harga es goyang kecil ini benar-benar harga “masa
lalu”, Rp 1.000,- saja. Bayangkan jika es tersebut dijual di area festival
seperti MTD, pasti akan melonjak beberapa kali lipat.Es goyang rasa kacang
hijau dan coklat telah berpindah ke tangan saya. Rasanya segar, dingin, manis
dan gurih khas santan.
Mengingatkan saya es goyang era SD dengan harga yang
sama. Alhamdulillah, melepas dahaga dengan salah satu warisan kuliner Indonesia
ini. Uniknya, es goyang yang notabene makanan anak-anak, siang itu ramai dibeli
oleh bapak-bapak dan mas-mas seumuran saya tanpa ada satu anak kecil dan remaja
pun yang membeli. Kebetulan?Atau anak kecil & remaja sekarang lebih memilih
jajan di food court sekarang??Who know’s. Yang jelas menikmati es
goyang membawa para pembeli termasuk saya ke masa kecil mereka.Dan yang
terpenting ikut melestarikan makanan endemik Indonesia.=)