Hujan rintik-rintik mulai menghampiri kami sepanjang perjalanan menuju desa Cemorolawang, desa terdekat dengan kompleks Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Menambah dingin hawa pegunungan yang kami rasakan. Segera saya mengenakan sweateruntuk menjaga kehangatan diri. Sepanjang perjalanan, banyak yang kami bicarakan untuk membunuh waktu karena perjalanan dari Terminal Banyuangga, Probolinggo menuju desa Cemorolawang memakan waktu sekitar satu jam. Sekaligus sebagai pengalih perhatian untuk mnghindari mabukdarat akibat jalan khas pegunungan yang naik-turun dan berkelok-kelok. Mas supir yang juga menyimak obrolan kami sempat membocorkan bahwa harga yang ditawarkan oleh kenek di tempat pemberangkatan tadi memang melonjak dari harga normal. Dia mengatakan harga semahal itu sebagai ganti waktu operasi angkot yang memang sudah lewat dari waktu resminya. Kami pun mengiyakan hal itu dan merasa beruntung tidak termakan harga awal tadi karena beberapa puluh ribu bagi seorang backpacker sangatlah berarti,hehehehe. Beberapa saat kemudian kami telah tiba di desa Cemorolawang. Dua orang mahasiswa dan mahasiswi yang bersama dengan kami berpisah karena memilih transit di penginapan. Harga penginapan yang ditawarkan sekitar Rp 100.000,00 per kamar/malam. Ukuran kamar standar dan muat untuk 3-4 orang Denger-denger, kalau periode liburan harga penginapannya naik sekitar dua kali lipat tapi tetap bisa ditawar. Kalau kami berlima memilih transit di warung kopi saja lebih ekonomis lebih merakyat juga,hehehehe. Segera kami pesan kopi hitam panas untuk menghangatkan diri sambil ngobrol kembali. Hujan rintik-rintik yang turun ditambah angin gunung kali ini membuat kopi panas kami berubah menjadi es kopi tak kurang dari 5 menit saja. Tak lama kemudian datang beberapa penjual kupluk, syal, dan sarung tangan yang tanggap melihat kami kedinginan tapi kami cuek saja karena memang tidak berminat membeli,hehehe. Saya dan Yos sempat ngobrol dengan bapak-bapak yang sedang membuat perapian di tungku.
Yos dan bapak-bapak suku Tengger menghangatkan diri.
Saya bertanya tentang air terjun Madakaripura yang memang teletak di taman nasional ini. Kata bapak tersebut, air terjun itu saat ini masih ditutup karena terjadi longsor beberapa saat yang lalu. Sayang sekali, mungkin lain waktu bisa menuju kesana. Oh,iya, di warkop tadi kami berlima sepakat memesan jeep untuk menemani perjalanan kami esok. Setelah tawar menawar sesuai dengan info harga yang kami dapat dari supir angkot tadi, akhirnya disepakati harga Rp 55.000,00 per orang dengan total harga Rp 275.000,00 dengan rute Penanjakan-Bromo. Banyak variasi harga yang ditawarkan tergantung rute yang dipilih. Selain rute kami tadi ada rute Bromo-Penanjakan-Savannah dan Bromo saja dengan harga yang berbeda tentunya tergantung banyaknya spot dan negiosiasi. Tak lama, kami pun segera beranjak menuju ke loket masuk menuju lokasi utama. Tiket seharga Rp 5000,00/orang. Tak jauh dari pintu masuk, ada gazebo yang cukup luas yang kami tumpangi untuk bermalam sejenak menunggu jeep menjemput kami sekitar pukul 04.00 dinihari WIB. Waktu saat itu mnunjukkan pukul 01.25 WIB, hujan masih turun, dinginnya benar-benar menusuk apalagi kami di area outdoor. Di depan gazebo yang kami tempati masih banyak penjual penghangat badan dan bakso yang tetap menjajakan dagangannya sembari menghangatkan diri. Suara angin dari arah Gunung Bromo kencang terdengar membuat suasana menjadi semakin dingin,hehehe. Kami pun segera merapatkan diri membentuk sh`f untuk mendapatkan ”kehangatan” (tapi kami masih cinta wanita y,hehehehehe) beralaskan jas hujan milik Sigit karena tidak ada tikar yang kami bawa.
Menghangatkan diri sejenak.
Saya sempat melihat termometer ruangan yang berada di salah satu kolom gazebo. Air raksanya berhenti di angka 14° C. Ah,ternyata 14°C di Cemorolawang. Kami pun segera menutup mata sejenak sebelum deru jeep membangunkan kami keesokan harinya untuk menikmati sunrise di Penanjakan.=)